“ Kring .. kring ..
kring .. “ Lagi – lagi suara bel itu. Aku sadar ini bukan mimpi. Ini adalah
kenyataan. Aku sudah bangun 1 jam yang lalu, bahkan sudah mandi dan siap untuk
sarapan.
“Prinzessin4, sarapan Anda
sudah siap. “ Suara lembut seorang wanita yang memanggil melalui pintu kamar
membuatku segera beranjak dari sofa dan menuju BΓΌcherregal5 untuk mengembalikan buku yang baru kubaca,
Heidi. Aneh bukan, seseorang memanggilku dengan sebutan Prinzessin? Maaf untuk mengecewakan, sayangnya wanita itu memanggil
dengan sebutan seperti itu tidaklah aneh.
“In Ordnung6, saya akan turun.
“ Meskipun dengan enggan, akhirnya kedua kakiku melangkah turun. Suasana di
bawahlah yang membuatku enggan untuk turun. Sudah berulang kali aku mengatakan
pada papa dan mama bahwa sarapan kami mampu menghidupi 3 negara kelaparan.
Tapi, mereka hanya tersenyum mendengar perkataanku. Mereka berpikir aku masih
terlalu mudah untuk memikirkan hal – hal seperti itu.
Apakah gadis
berusia 16 tahun terlalu muda? Aku rasa tidak. Samantha Smith, gadis asal
Manchester, berhasil mendamaikan 2 negara super
power, Uni Soviet dan Amerika pada usia 10 tahun. Atau Severn Suzuki, gadis
asal Vancouver, yang mendirikan Enviromental
Children’s Organization (ECO) pada usia 9 tahun. Bagaimana denganku? Apa
yang sudah kusumbangkan untuk dunia? Atau yang tidak terlalu luas, negaraku?
“Prinzessin, sudah waktunya Anda
berangkat ke sekolah. “ Pria berjas necis dengan kacamata hitam serta earpiece
memanggilku dengan sopan namun tegas. Kecupan hangat selalu aku berikan untuk
papa dan mama sebelum berangkat ke sekolah.
Ya, jadi selamat
datang di kehidupanku. Melakukan hal yang sangat membosankan dan tentunya
monoton. Meskipun monoton, hal yang
paling kusuka adalah sekolah dan buku. Karena banyak hal baru yang menanti
untuk dipelajari. “Aku yakin suatu saat aku akan merasakan sesuatu yang baru
dan berbeda. Dan mungkin berkesan.” Kata – kata itu yang selalu ku yakini dan terus
kukatakan dalam hati tentunya. Tetapi, aku harus menunggu enam tahun lagi sebelum
aku bisa menerima tahtaku sebgaai Ratu Liechtenstein.
Mungkin banyak orang, atau bahkan
semua tak tahu tentang negara mungil ini. Negara yang terjepit di antara Switzerland
( di perbatasan barat ) dan Austria ( di perbatasan timur ) inilah yang
akan ku pimpin enam tahun mendatang. Namun jangan salah, negara yang hanya
berupa noktah kecil pada peta Eropa adalah negara dengan pemimpin terkaya ke
empat di dunia. Meskipun negaraku hanya memiliki luas kurang lebih 160 km
persegi, Liechtenstein adalah negara impian bagi kebanyakan
penduduk Eropa.
Siapa yang tidak
nyaman jika tinggal di negara yang tidak ada namanya pengangguran, negeri yang bebas dari ambisi politik, tidak
ada pajak yang memberatkan, kriminalitas sangat minim (nyaris tak ada
penjahat), dan rakyat benar – benar hidup tentram. Setiap hari, Pegunungan Alpen selalu menyapa bersama dengan
ke kunoan Vaduz Castle. Benar – benar
negeri yang tentram. Kehidupan rakyat yang elegan berbaur dengan nilai – nilai
tradisional yang masih sangat kental.
Jauh di lubuk hati,
aku ingin sekali saja bisa merasakan hidup normal. Pergi kesekolah dengan
banyak teman, menonton konser, jalan – jalan saat weekend, dan masih banyak lagi yang ia ingin lakukan sebagai sorang
remaja Eropa normal. Namun, hal itu sangat mustahil bagi seorang Prinzessin. Sebenarnya aku memiliki
keuntungan sebagai Prinzessin salah
satu negara terkecil di dunia.
Ketika tahun lalu
berlibur ke dataran Asia yang tenang, tidak ada orang – orang yang mengenali
keluargaku. Papa dan mamaku tidak mempermasalahkanya. Begitu juga aku. Hingga
akhirnya kami bertemu dengan rombongan study
tour dari Jerman serta suami istri dari Swiss yang lengsung membungkuk
memberi hormat pada kami. Tentu, bandara menjadi sangat heboh ketika mengetahui
ada keluarga kerajaan di sana. Seketika itu juga banyak wartawan langsung
meliput apa yang terjadi di bandara. Dan ku dengar hampir seluruh channel TV di
daerah tersebut tak henti – hentinya menyebutkan tentang negaraku ini. Sungguh
konyol bukan? Beberapa hari kemudian, tingkat kunjungan turis semakin meroket.
Dan mereka terkagum – kagum dengan negaraku yang tentram ini.
Akhirnya bangunan
sekolah mulai terlihat. Tapi, apakah ini betul sekolah? Mana ada sekolah yang
muridnya setiap angkatan tidak mencapai lima puluh orang? Sekolah macam apa
yang hanya menerima siswa kaya, siswa penerima beasiswa, anak diplomat, Prinz, dan Prinzessin? Itulah yang terus menjadi hal menyebalkan. Teman –
teman di sekolah hanya itu – itu saja. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak
manja. Mereka hanya suka Kosmetikum, Kleid,
und Party.7 Sedangkan sahabat adalah kata yang sangat sulit
diucapkan di sini. Aku tidak pernah mengerti arti kata sahabat. Terkadang aku
bingung dengan sosok sahabat dari buku – buku yang kubaca. Di sana dikatakan
bahwa sahabat adalah seseorang yang selalu ada untukmu di saat susah maupun
senang, seseorang yang bisa engkau percaya setiap saat, seseorang yang tidak
pernah membicarakanmu di belakangmu, dan masih banyak lagi ciri – ciri seorang
sahabat. Rasanya dengan syarat yang sebanyak itu, masuk akal jika seorang
sahabat sejati sulit untuk didapat. Ya, sebenarnya aku mempunyai seseorang
dengan kriteria seperti itu. Tapi, aku belum terlalu yakin apakah dia benar –
benar seorang sahabat sejati meskipun aku sudah mengenalnya sejak kecil. { bersambung .. }
der Anfang : The Beginning
4. Prinzessin : Putri
5. BΓΌcherregal : Bookshelf
6. In Ordnung : Okay
7. Kosmetikum, Kleid, und Party: Cosmetic, dress, and party
der Anfang : The Beginning
4. Prinzessin : Putri
5. BΓΌcherregal : Bookshelf
6. In Ordnung : Okay
7. Kosmetikum, Kleid, und Party: Cosmetic, dress, and party
0 komentar:
Posting Komentar