HARGA
SEBUAH KEBEBASAN
20 September 1945
Dor! Dor! Tak peduli bagian tubuh mana lagi yang akan tertembak! Aku akan
terus berjuang. Berjuang hingga titik darah penghabisan. Aku tak mau semua
perjuanganku sia – sia dan hanya sampai di sini. Sedikit lagi. Krek. Satu
sobekan yang mampu mengembalikan harga diri arek
– arek Suroboyo. Kulihat kain
berwarna biru melayang turun dari tempatku berdiri hingga menutupi wajah salah
satu tentara ‘tirani’ yang membabi buta menembak rakyat Surabaya yang mencoba
melawan. Saat itu pula, mata yang seharusnya memiliki warna seteduh lautan biru
berubah menjadi merah menyala. Penuh kebencian. Tanpa peringatan, senapan yang
dipegangnya terarah padaku dan pelatuk tertarik. Dor! Kali ini aku peduli akan
bagian tubuhku yang tertembak. Meskipun sangat sakit tetapi, tak masalah.
Misiku sudah selesai. Aku bangga mati hari ini. Mati untuk sebuah harga diri
ribuan orang.
***
17 Agustus 1945
“ Proklamasi.
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas Nama Bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta. “ Pengumandangan proklamasi melalui radio oleh Soekarno disambut tangis bahagia oleh arek – arek Suroboyo. Mereka segera melepas bendera Nippon maupun Belanda dan mengganti dengan bendera darah dan tulang, merah-putih. Banyak yang mengira ini adalah akhir dari semua perjuangan. Tak ada yang menyadari bahwa ini hanyalah awal dari perjuangan yang lebih berat. Tapi aku menyadarinya.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas Nama Bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta. “ Pengumandangan proklamasi melalui radio oleh Soekarno disambut tangis bahagia oleh arek – arek Suroboyo. Mereka segera melepas bendera Nippon maupun Belanda dan mengganti dengan bendera darah dan tulang, merah-putih. Banyak yang mengira ini adalah akhir dari semua perjuangan. Tak ada yang menyadari bahwa ini hanyalah awal dari perjuangan yang lebih berat. Tapi aku menyadarinya.
Namaku Kusno Wibowo. Kusno yang
berarti gemar akan ilmu pengetahuan, sedangkan Wibowo yang berarti
karisma/wibawa. Mungkin dulu orangtuaku berharap aku bisa tekun menimba ilmu
dan menjadi orang yang berkarisma. Ya mungkin. Aku tak pernah mengenal
orangtuaku. Mereka telah diambil dariku saat aku belum mengerti mana senapan
dan mana bambu runcing. Pamanku, salah satu pemimpin pasukan gerilya di
Surabaya, merawatku hingga aku bergabung dengan pasukannya.
Aku bukan orang yang sedang berdiri
di depan seluruh pasukan sambil berteriak dengan lantang seperti pamanku. Aku
sama seperti ribuan pemuda Surabaya lain yang yang menunggu perintah dan siap
mati. Setidaknya untuk hari ini aku bisa beristirahat sejenak. Melepas penat
batin dan fisik. Aku selalu yakin, aku punya misi besar yang harus dilakukan
untuk banyak orang. Dan aku akan siap, walaupun nyawa sebagai gantinya.
***
31 Agustus 1945
Akhirnya kami dapat mengibarkan
bendera kebanggaan kami dengan terang – terangan dan tanpa rasa takut akan
tentara Nippon. Maklumat yang dikeluarkan memukul telak tentara Nippon yang
masih memaksa pemasangan bendera putih dengan lingkaran merah di tengah. Kami
sudah menjadi negara yang bebas dan merdeka. Kami adalah negara yang berdaulat.
“ Paman, hari ini aku akan membantu
paman untuk memasang bendera di depan bangunan Belanda dan Nippon. “ Aku segera
berdiri dan berlari ketika melihat paman pergi bersama kepala pasukan lain.
“ Boleh. Panggil kawan – kawanmu.
Hari ini kita akan bekerja lebih keras dari sebelumnya. Kita tak ingin para
tentara Nippon ataupun Belanda datang kembali bukan? “ Suara paman terdengar
khawatir sekaligus waspada. Aku juga mengkhawatirkan kondisi paman yang akhir-
akhir ini terlihat kurang sehat.
Apakah tentara Nippon ataupun
Belanda berani datang kembali ke sini untuk menjajah negara yang sudah merdeka
dan tak kenal rasa takut dan bahkan akrab dengan malaikat pencabut nyawa? Tapi,
tak ada salahnya selalu siap sedia.
***
19 September 1945 pukul 21.00 WIB
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr
W.V.Ch Ploegman telah bersiap-siap untuk mengibarkan bendera Belanda.
“ Hoe de voorbereidingen vlag?1
“ tanya Mr
W.V.Ch Ploegman kepada salah satu kepala pasukan.
“Rapport pack, zullen we begonnen hebben op
het verhogen van de hoogste piek in dit hotel Yamoto.2” Sahut
salah satu kepala pasukan.
“
Laat voeren mogelijk.3”
Respon Mr W.V.Ch Ploegman begitu puas dengan dengan kerja kepala pasukannya.
Ini adalah peristiwa yang sudah ditunggu – tunggu oleh kepala pasukan daerah
Surabaya itu.
“
Klaar om in te pakken !!4
“
1. Bagaimana persiapan pengibaran bendera?
2. Lapor pak, kita sudah akan mulai pengibaran di puncak tertinggi di Hotel Yamato.
3. Baiklah, laksanakan sebaik mungkin.
4. Siap pak !!
***
20 September 1945
Dor!
Aku tersentak akan suara tembakan di pagi buta. Mengapa bisa ada tembakan? Kita
sudah merdeka. Perang sudah berakhir. Tanpa berpikir panjang aku segera
beranjak keluar untuk memastikan apa yang terjadi.
“
Kusno, lihat tentara Belanda tak tahu diri berani menginjakkan kakinya di
Surabaya dan bahkan menancapkan benderanya di Hotel Yamato. “ Teriak salah
seorang kawan yang berlari mengikuti kerumunan massa.
Pagi
itu, Jalan Toenjoengan menjadi ramai karena rakyat Surabaya khusunya arek –arek Suroboyo datang memadati
halaman hotel dan menuntut penurunan bendera merah-putih-biru. Aku melihat
seorang tentara Belanda berteriak sambil mengacungkan senapannya pada massa
yang berdesakan untuk masuk ke lobi hotel. Aku bingung, aku tak tahu apa yang
harus kulakukan. Jika begini terus, pertumpahan darah akan terjadi.
Sebelum terjadi
adu mulut lebih lama lagi, pasukan dibawah pimpinan Sudirman datang dan
bersepakat untuk mengadakan perjanjian dengan Ploegman. Sudirman, Hariyono, dan
Sidik diijinkan masuk oleh tentara Belanda. Sedangkan pamanku berada di barisan
paling depan di antara kerumunan massa untuk meredam amukan mereka. Aku segera
berlari mendekati paman.
“
Paman, apa yang terjadi? “ teriakku untuk mengalahkan suara dan desakan massa
yang makin menjadi – jadi. Saat itu pun kusadari tangan kanan paman berdarah. “
Kenapa dengan tangan paman? “
“
Kusno, kamu harus memimpin kawan – kawan pemudamu untuk menjauhi wilayah ini
sekarang. Perjanjian damai tidak dapat dibuat antara tentara Belanda dan
pasukan kita untuk saat ini. Pertumpahan darah akan terjadi. Bergabunglah
dengan rakyat Surabaya yang lain. Kita harus mengembalikan harga diri dan
kemerdekaan kita! “ Paman terlihat begitu serius dan yakin apa yang dia
katakan.
“ Tapi paman,
aku mau berjuang juga. Aku adalah arek –
arek Suroboyo! “ jawabku tegas.
“ Tak ada tapi.
Cepatlah. Paman tau kamu mau berjuang juga. Tapi kamu harus menyusun strategi.
Kalau tidak ini semua akan sia – sia. “ Aku memilih untuk percaya dengan apa
yang paman katakan. Namun, aku tak menyadari bahwa itu adalah saat terakhir aku
bisa berbicara dengan paman. Segera, aku memanggil kawan – kawan pemuda
seperjuanganku dan mengatakan apa yang paman katakan.
Kami
memilih tempat yang aman untuk bersembunyi. Tidak! Kami bersembunyi bukan
karena kami takut. Kami menyusun strategi untuk menurunkan bendera Belanda
tersebut. Hingga menjelang siang massa belum mereda. Bahkan makin banyak rakyat
Surabaya dari berbagai pelosok bergabung dan memaksa mendobrak masuk ke dalam
hotel. Tak peduli dengan teriakkan dan beberapa kali letusan senapan yang telah
dilepaskan tentara Belanda, rakyat tetap memaksakan diri untuk masuk.
Tak
lama berselang, aku mendengar Harianto dan Sudirman keluar dari hotel dan
berteriak, ”Mereka berkhianat. Sidik telah ditembak.” Rakyat Surabaya geram
melihat salah satu pejuangnya ditembak saat mengadakan perundingan. Mereka
segera mendorong tentara Belanda yang berjaga di depan dan mendobrak masuk.
Tentara Belanda yang panik pun menembak dengan membabi buta semua orang yang
mendorongnya.
Dari
kejauhan aku melihat tubuh paman jatuh tersungkur dan diinjak-injak oleh para
tentara Belanda. Aku merasakan amarah yang meluap – luap dalam diriku. “ Akan
kubuat pengorbananmu tak sia- sia, paman. ” sumpahku dalam hati. Semakin banyak
rakyat yang tumbang di halaman hotel. Hari itu, kira – kira sudah 500 tubuh
tergeletak di sekitar halaman hotel . Aku mengira rakyat lain akan takut
melihat peristiwa itu, namun, tanpa disangka dari berbagai arah muncul rakyat
Surabaya beserta pemuda – pemuda yang membawa senjata berlari menuju Hotel
Yamato. Dengan satu teriakan, “ Merdeka! ” kami semua menggabungkan satu
kekuatan untuk satu tujuan. Berjuang bagi hak dan harga diri kami. Merdeka!
***